Cerpen: Takdir Yang Direncanakan
Dentuman musik RnB mengisi ruangan
sempit penuh dengan tumpukan buku-buku usang, kalau bisa dicium aroma dari
ruangan ini seperti pabrik kertas yang habis terkena banjir bandang. Dipojok
sana ada cowok bertubuh atletis namun sekarang bagian perutnya sudah tidak
beraturan lagi, didepannya ada beberapa buku-buku yang tebalnya kira-kira 5
sentimeter. Dia duduk tidak bergerak, kulihat tangannya memegang pensil sedang
mencorat-coret kertas entah apa yang sedang dia lakukan namun dia sangat fokus.
Aku pikir dia tidak tau kalau aku sudah berada tepat dibelakangnya, namun
suaranya cukup mengagetkanku.
“Woy,” ada jeda sedikit dari suanya yang ngebass “Lo masuk,
lo tutup pintu.” Lanjutnya.
Jujur ini sudah sebulan aku tidak
bertemu dengan Dodit, bukannya menengok lalu menyapaku ini malah langsung
melempar kalimat perintah. Kalau bukan sahabat, mana mau aku datang untuk
menemui si manusia sombong ini.
“Lo yakin nggak mau senyumin gue?” aku menunggu jawaban dari
Dodit sambil menaruh tas dan duduk di sofa yang agak lembab. Aku sejenak
berpikir, dirumah yang semewah ini masih saja ada ruangan kumuh yang tidak
terawat. Dodit masih diam, pundaknya yang lebar, lengannya yang kuat, dan
dadanya yang bidang membuatku selalu rindu pada manusia super arogan ini. Kita
bersahabat dari kelas 6 SD, dari dulu dia memang dingin dan selalu
menggambarkan dirinya sebagai dewa yang serba bisa, menyanyi, karate, olimpiade
matematika, fotografi, renang, semua hal dia lakukan demi eksistensi diri,
belum pernah aku mendengar bahwa dia menyukai apa yang dia lakukan namun semua
yang dia lakukan didasarkan pada apa yang akan orang lain katakan terhadap
dirinya. Hidupnya pasti lelah.
Dodit menoleh kearahku, sudut-sudut
bibirnya saling bertarikan menciptakan lengkungan bulan sabit, menurutnya itu
adalah sebuah senyuman tapi menurutku itu adalah sebuah hinaan. Setelah
melakukan pemaksaan senyum, dia berbalik lagi berinteraksi dengan
lembaran-lembaran soal matematika. Decitan pensil terdengar diruangan hening,
aku dan Dodit tidak saling berbicara, kita hanya diam, maksudku hanya aku yang
diam.
“Dodit, keluar yuk. Gue udah jauh-jauh dari Bandung, masa gue
dipunggungin?” aku mulai mendekatinya sambil pura-pura penasaran dengan apa
yang sedang dicorat-coret sedari tadi.
“Gue sibuk, Fit. Lo tau kan ujian masuk perguruan tinggi
negeri tinggal seminggu lagi?” ujarnya sambil membuka lembaran demi lembaran
buku yang hampir robek.
“Aduh, lo tuh udah pinter, nggak perlu lah belajar lagi. Sekarang
tutup bukunya, kita jalan-jalan.” Aku menutup semua buku yang terbuka
didepannya, Dodit tampak setuju saja sambil mengerlikan matanya padaku. Lalu satu
suara lagi yang tiba-tiba membuat telingaku ngilu, Bambang, si cowok tomboy.
“Hai! Aduh ya ampun, Fitri makin cantik aja, udah lama nggak
ketemu, apa kabar saaaay?” dengan gayanya yang meliuk-liuk dan nada bicaranya
yang semakin keibuan. Aku hanya tersenyum dan menjawab seadanya sambil membalas
pelukan erat Bambang. Badannya yang tinggi besar dan sedikit gempal melahap
tubuhku yang kecil.
“Eh, elo ya kurang ajar!” Tiba-tiba Bambang menampar wajah
Dodit dengan pelan. “Kemarin malam lo berasa nyerempet motor orang nggak sih? Tanya
Bambang dengan wajah jengkel ke Dodit.
“Hmm, kayaknya iya deh. Ada satu motor yang jalannya lambat
banget, gue udah nggak sabar, akhirnya gue coba mendahului dari sampingnya dan
jadinya agak nempel gitu stang motornya sama stang motor gue. Untung aja gue
nggak jatuh.” Penjelasan dari Dodit membuat wajah Bambang nampak memerah.
“Terus motor yang lo senggol gimana Dit? Nggak jatuh kan?”
tanyaku khawatir.
“Nggak tau deh Fit, gue langsung ngebut. Eh kok lo tau sih
Bam? Emangnya...” belum sempat Dodit meneruskan pertanyaannya Bambang langsung
tancap gas mendorong tubuh kekar Dodit ke sofa.
“Lo tau nggak sih Dit, (sambil menunjuk-nunjuk wajah dodit)
motor yang lo serempet itu, (kali ini mengambil penggaris kayu) itu adalah
motor gue!!!” Bambang memukul-mukul tubuh Dodit dengan penggaris kayu tadi,
sambil mengucapkan sumpah serapahnya pada Dodit.
“Aduh! Aduh! Eh maafin gue Bam, gue nggak tau kalau itu elo,
sumpah!” Dodit tertawa-tawa kecil sambil kesakitan ditindih oleh Bambang yang
tidak henti-hentinya menyerang Dodit karena kesal.
“Ya ampun, Bambang. Terus gimana motor lo? Lo nggak apa-apa
kan?” tanyaku sambil memegang lengan Bambang yang tengah menjambak rambut
Dodit.
“Aduh Fitri, gara-gara si ikan cupang ini gue jadi berurusan
sama supir angkot tau nggak sih! Hih! Rempong urusannya!”
“Hahaha, kok bisa sih?” Dodit mulai penasaran. Bambang mulai
merapikan rambutnya yang berantakan dengan gaya centilnya sebelum dia
menjelaskan kronologinya.
“Nih, ya, jadi tuh semalam gue habis pulang les, keadaan
jalan lagi macet banget tuh cin, gue lihat di kaca spion ada motornya si Dodit
dibelakang gue dan gue yakin kalau yang mengendarai itu si ikan julung-julung
ini. Nggak lama dia mulai maju, maksa banget pengen mendahului motor gue dan
akhirnya stang motor kita beradu, motor gue oleng...”
“Masa sih baru disenggol sedikit aja udah oleng? Payah banget
hahaha” potong Dodit sambil mentertawai Bambang.
“Heh, lo bisa diem nggak sih? Orang lagi cerita, lagi sedih
bukannya prihatin malah ketawa. Peluk gue kek, kasih duit gitu.” Bambang
menyentil telinga Dodit sampai suaranya terdengar olehku, Dodit hanya bisa
mengerang kesakitan sampai tersungkur. “Rasain lo! Baru gue sentil udah oleng
lo yah!” lanjut Bambang sambil tertawa bak setan melihat Dodit jatuh kesakitan.
Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah dua anak idiot ini.
“Terus, terus gimana lagi Bam?”
“Ya, karena motor gue oleng terus gue nabrak angkot Fit. Parahnya
si supir angkot minta ganti rugi gara-gara angkotnya penyok, padahal motor gue
juga nggak kalah hancur.”
“Serius Bam? Dia minta ganti rugi berapa? Tapi penumpangnya
nggak ada yang luka kan? Bambang nggak luka kan?” aku pun penasaran, dan
sedikit kesal juga dengan Dodit, tapi dia malah tertawa lebih geli.
“Hih! Banyak nanya deh lo, ah. Lumayan sih Fit uang ganti
ruginya, ya bisa lah buat beli pulsa internet sebulan. Nggak ada yang luka sih,
Cuma motor gue masuk rumah sakit.” Bambang langsung merengek-rengek sejadinya,
sambil terus memukul-mukul Dodit yang tidak berhentinya mentertawai Bambang.
“Dodit! Lo nggak boleh bawa motor sembarangan terus dong, gue
pikir lo udah berubah yah. Kalau kayak gini orang lain kan yang nanggung
risikonya, bukan lo.” Nadaku sedikit tinggi, aku kesal dengan sikap Dodit
mengendarai motornya. Bukan sekali dua kali dia menimbulkan masalah dijalan
raya. Jika dia sudah mengendarai motor, dia dikenal dengan pengendara
berkecepatan cahaya, cahaya matahari saja kalah cepatnya dari kecepatan
berkendaranya Dodit. Apapun kondisinya, kecepatan motornya selalu diatas 40
km/jam, tak heran kalau teman-temannya sering menolak untuk diajak berboncengan
dengannya, termasuk aku. Memang dia sangat lihai dalam mengendarai motor dan
sampai sekarang dia belum pernah merasakan hangatnya mencium aspal jalan raya,
dia tidak pernah gagal dalam aksi kebut-kebutannya.
“Loh? Bambang yang nabrak angkotnya, masa gue yang salah?”
“Heh, ikan kerapu! Kalau lo nggak nyenggol motor gue, masa
iseng banget gue sampe nabrak angkot segala! Elo ya, emang nggak bisa
dibilangin. Jadi pengendara motor tuh yang sopan, jangan asal mementingkan diri
sendiri. Lo pikir dengan lo kebut-kebutan, lo merasa ganteng? Lo merasa lo
kece? Lo merasa lo anak paling gaul?” Api amarah Bambang berkobar lagi
mendengar Dodit yang tidak mau disalahkan. Bambang masih terus memaki-maki
Dodit. Ruangan disini semakin pengap, sumpek dan panas, aku mencoba meredam
amarah Bambang yang semakin tak terarah. Dodit akhirnya meminta maaf namun
masih dengan wajah yang main-main.
Lama aku berbincang dengan Bambang
karena sudah lama tidak bertemu, aku juga memperhatikan Dodit yang tengah asyik
dengan ponselnya. Tiba-tiba ponselnya berdering, Dodit dengan sigap langsung
membenarkan posisi duduknya dan menjawab telponnya. Aku penasaran, siapa yang
menelpon Dodit hingga wajahnya berubah dan mulai ada senyuman tipis dari
bibirnya. Aku mencoba mencolek-colek lengan Bambang berharap Bambang tau siapa
orang yang sedang berbincang dengan Dodit ditelepon.
“Ah, paling itu si Sandra. Genit banget tuh cewek, nelpon
terus kerjaannya setiap hari.” Bisik Bambang.
“Lagi pendekatan? Atau udah pacaran?
“Pacaran.” Jawab Bambang dengan singkat. Entah mengapa
perjalananku ke Jakarta menjadi sangat menyedihkan. Aku menolak ajakan Dodit
untuk makan nasi goreng kesukaan kami, aku juga menolak ajakan Bambang untuk
melihat motornya yang berada di bengkel saat ini. Aku memutuskan untuk pulang
ke Bandung, dan kurasa hari ini sangat melelahkan, walau hanya untuk
mendengarkan jawaban Bambang barusan tentang wanita barunya Dodit.
Sudah seminggu yang lalu, aku
berkunjung ke Jakarta, dan kini aku kembali lagi. Kupikir hari ini dalah hari
dimana Dodit tes untuk masuk perguruan tinggi negeri, ternyata besok baru
dimulai. Aku masih punya waktu untuk berbincang dengan Dodit di restoran
kesukaan kami.
“Jadi persiapan lo udah berapa persen nih buat besok?”
tanyaku sambil menggulung spagheti dari piringnya.
“Seribu persen lah! Gue udah prepare dari 5 bulan yang lalu buat tes masuk perguruan tinggi
negeri ini. Lo tau kan? Dari dulu gue mimpi banget buat masuk universitas itu?”
gaya bicara Dodit yang nyeleneh tidak ketinggalan, sombongnya masih tetap
terdengar.
“Tau banget lah, gue doain lolos ya Dit. Semoga usaha lo
nggak sia-sia.” Aku melemparkan senyum pada Dodit, dia mulai menceritakan kegiatannya
selama mempersiapkan tes tulis besok. Dari mulai ikut bimbingan belajar yang
menghabiskan belasan juta, begadang ekstrem sampai matahari terbit, hingga
pernah didiagnosa menderita tipus. Usahanya tidak main-main untuk universitas
yang selalu dia impikan, yang lambang universitasnya banyak tertempel ditembok
kamarnya. Dia sangat ambisius, ini pertama kalinya Dodit menginginkan sesuatu
dari keinginannya sendiri, dari dasar hatinya, bukan karena dia ingin dilihat
oleh orang lain.
Lama kita bercengkrama, hampir jam
dua belas malam kita duduk berdua dipojok cafe. Dia tidak pernah menyebut nama
Sandra, dan itu bagus. Kita berdua akhirnya pulang, tidak lupa aku mengucapkan
terima kasih padanya karena telah meluangkan waktunya.
“Oh iya, Dit, fokus ya buat besok. Inget, bangun pagi,
persiapkan semuanya jangan ada yang ketinggalan.”
“Pasti.” Dodit mengacungkan ibu jarinya lalu melambaikan
tangannya sedangkan aku menutup pagar rumahku, aku memperhatikan Dodit hingga
punggungnya hilang dari pandanganku. Malam ini adalah malam yang paling,
berbeda.
Alarmku berbunyi pukul lima pagi,
satu hal yang pertama kali aku lakukan adalah meraih ponselku dan langsung
menelpon Dodit. Tiga kali panggilan namun tidak ada jawaban, aku mencoba
berkali-kali namun tetap saja Dodit tidak menjawab. Aku takut kalau dia belum
bangun dan kesiangan. Akhirnya aku mengirim SMS yang banyak untuk mengingatkan
dia, kalau saja pagi ini aku tidak ada rencana untuk menjenguk sepupuku yang
sedang sakit, aku pasti langsung kerumahnya. Tidak lama akhirnya Dodit membalas
pesanku, dan dia bilang bahwa dia sudah bangun dan ingin berangkat. Syukurlah,
kupikir dia terlambat bangun.
Bau rumah sakit yang khas menusuk
hidungku, sepupuku dirawat karena menderita demam berdarah, namun kondisinya
sudah membaik dan untungnya hari ini dia sudah diperbolehkan pulang. Tiba-tiba
ponselku beredering, aku pikir Dodit meneleponku tapi ternyata ini Bambang. Aku
keluar dari kamar pasien dan menjawab panggilan dari Bambang.
“Halo, Bambang ada apa?”
“Fit! Duh, lo dimana sekarang? Dimanaaa?” suaranya panik dan
terdengar riuh jalan raya serta sirine mobil ambulance. Aku terkejut,
perasaanku langsung tidak karuan.
“Gu gu...gue di rumah sakit Bam, lo dimana sih? Kok berisik
banget? Ada apa sih Bam?”
“Dodit kecelakaan nih, gue nggak bisa jelasin sekarang,
pokoknya lo cepet ke depan lampu merah deket pasar burung.” Bambang langsung
menutup teleponnya, darahku langsung mendesir, seketika tubuhku lemas dan
langsung jatuh ke kursi. Jantungku bukan lagi berdebar, aku berjalan bahkan
lebih cepat dari detak jantungku. Keringat mulai membasahi semua permukaan
tubuhku yang terkena angin, aku langsung memanggil ojek dan melaju ke tempat
yang disebutkan Bambang. Pikiranku tidak karuan, semua hal buruk sudah merasuk
mengikat otakku. Aku hanya bisa berdoa bahwa apa yang aku pikirkan tidak
seburuk apa yang akan terjadi nanti.
Jalanan mulai padat dan dari kejauhan
terlihat kerumunan orang serta ada police line yang membentang. Aku nyaris
tidak bisa bergerak bahkan aku enggan turun dari ojek, aku melihat Bambang yang
sedang sibuk dengan ponsel ditelinganya tetapi mataku mencari satu orang,
Dodit. Sesampainya di lokasi, aku terjebak kerumunan orang, aku melihat bekas
darah berlumuran di aspal, tak terasa air mataku mengalir. Bukan, itu bukan
darah Dodit. Bambang meneriaki namaku sambil melambai-lambaikan tangan, aku
langsung menyergap tubuhnya takut bahwa aku akan jatuh.
“Bam, Dodit nggak apa-apa kan Bam?” aku tidak sadar bahwa
sekarang suaraku dibarengi dengan tangisan.
“Dodit kemungkinan Cuma patah tulang Fit, tapi gue ragu sama
ibu-ibu yang ditabrak Dodit.” Itu pasti darah dari Ibu yang ditabrak Dodit,
tangisanku langsung pecah. Aku tidak tau harus berbuat apa, aku tidak berani
memikirkan apa yang akan terjadi pada ibu itu.
Dodit kini berada di ambulance dan
tidak sadarkan diri, motornya ringsek dan aku tidak bisa bayangkan kejadian
saat Dodit menghantam motor si ibu yang menjadi korban. Akhirnya aku sampai
dirumah sakit dan langsung menuju ruangan dimana Dodit ditangani. Dia tergeletak
lemas, tangan kanannya dibalut gips. Dia melihat kearahku dan Bambang dengan
mata yang lesu dan sepertinya dia habis menangis. Aku hanya bisa menangis
dihadapannya, melihat keadaannya seperti ini.
“Dodit,” aku masih tidak tau apa yang harus aku katakan “lo
kenapa sih?” sambungku. Dia hanya menggelengkan kepalanya, aku tau pikirannya
juga tidak kalah kacaunya daripada pikiranku. Dia pasti memikirkan nasib ibu
yang ditabrak tadi dan nasibnya, dia pasti memikirkan hal itu.
“Gue nggak bisa ikut ujian tulis, Fit. Padahal gue udah
persiapkan 5 bulan yang lalu.” Aku menggenggam tangan kirinya, berusaha
menguatkan Dodit dalam kegelisahanku. Aku tau dia sangat putus asa, ini kesempatan
satu-satunya untuk masuk ke perguruan tinggi tersebut, dan sekejap harapan itu
musnah. Aku tidak berani menanyakan kronologi kejadiannya, yang aku bisa
hanyalah mencoba menenangkan Dodit dan memberi tau bahwa dia akan baik-baik
saja.
Bambang datang dengan wajah yang
frustasi, dia tidak berani melihat wajah Dodit. Aku digiring keluar oleh
Bambang, kini wajahnya tidak bisa kukenali seperti biasanya. Dia menggenggam
kedua tanganku, jantungku mulai berapacu lagi. Jika boleh, aku ingin berteriak
dan tidak ingin mendengarkan apa yang keluar dari mulut Bambang. Ini pasti
buruk, buruk sekali.
“Fit, jangan kasih tau Dodit dulu,” Tangan Bambang sedingin
es, tatapannya lemah. “Ibu yang tadi ditabrak Dodit, meninggal.” Aku hanya
bertumpu hanya dengan tangan Bambang, aku tidak bisa berdiri dengan tegak dan
tubuhku membungkuk seraya tanganku menutupi mulutku dan menahan tangis
sebisaku. Aku tidak ingin tau bahwa ibu itu mempunyai seorang anak atau
keluarga yang bahagia yang telah ditinggalkannya. Suara tangis Bambang mulai
terdengar lirih, aku tidak bisa mendengar suara tangisku, aku hanya mendengar
teriakan-teriakan dari dalam diriku. Beberapa polisi mulai memasuki ruangan
Dodit dan tidak ketinggalan banyak wartawan yang mulai menutupi pandanganku
terhadap Dodit. Aku dan Bambang tidak diperbolehkan masuk. Aku hanya bisa
menyenderkan kepalaku dibahu Bambang, sampai saat ini aku tidak bisa
membayangkan akan apa yang dialami Dodit nantinya.
Kejadian itu terjadi ketika Dodit
berangkat ke lokasi ujian, seperti sudah kuduga, dia terlambat. Dan pastinya
dia memacu kendaraan dengan sangat cepat, bahkan bisa lebih cepat dari apa yang
dibayangkan olehku. Ketika traffic light mulai
berganti dari hijau menjadi merah, Dodit tetap memacu kendaraannya, ini adalah
kebiasaannya selalu melanggar peraturan lalu lintas, dari arah kanan dia
menghindari Truk yang melaju dan akhirnya dia menabrak sang ibu pengendara
motor dengan kecepatan diatas 60 km/jam dan si ibu tersebut terpental begitupun
dengan Dodit. Hingga saat itu Bambang tau betul karena dia tepat berada di
belakang Dodit.
Dodit akhirnya dilaporkan bersalah
karena kelalaian dalam berkendara dan dia juga dikenakan pasal berlapis, aku menemaninya
disetiap kali sidang. Aku juga baru pertama kali melihat sosok Sandra dengan
langsung, dia datang ke pengadilan hanya untuk memutuskan hubungannya dengan
Dodit. Kini aku tidak bisa bahagia ataupun lega, menguatkannya adalah
satu-satunya hal yang aku bisa, entah apa yang akan terjadi pada Dodit nanti,
yang pasti dia telah belajar bahwa kecelakaan yang terjadi dijalan raya itu
bukanlah takdir, itu semua adalah kejadian yang direncanakan oleh manusia itu
sendiri. Pribadi berkendara akan menciptakan apa yang akan kamu alami dijalan
raya, dan semua itu hanya butuh waktu untuk diperlihatkan apa yang sudah kita
tanam.
Blog spot ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman dan Selamat Bersepeda Motor Dijalan.' #SafetyFirst diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com
Comments
Post a Comment